Start at the beginning, go to the end, then stop. That’s how I write. I write quickly. I don’t try to show how intelligent or how cultivated I am, I just try to share my soul. Sharing is part of life. - Lewis Carroll

Tuesday, December 25, 2012

Talking With The Wind





"Heiiiiii cinta!"
Seseorang di ujung sana berteriak memanggil-manggil cinta. Rupanya dia sudah sangat lama mencarinya. Bahkan dia sudah terlalu lelah untuk memperbincangkan cinta. Menanti, itu yang dia lakukan hari-hari ini.

Dia berpikir bagaimana bisa orang-orang dengan begitu mudahnya mendapatkan cinta. Mereka bebas menentukan pilihan mereka, dan mereka juga bebas mengganti orang yang mereka cintai dengan sangat cepat. Heeem apakah itu cinta, gumamnya. Mungkin itu hanya emosi sesaat dan bukan cinta, tapi nafsu atau dalam bahasa para dewa Yunani itulah yang namanya Eros.

Seseorang diujung jalan itu terus berjalan menelusuri jalanan. Rupanya dia hanya ingin melihat-lihat. Dia berhenti pada satu tempat, duduk dan memandangi sekeliling. Belum pernah dia melakukannya, ini kali pertama baginya hanya duduk dan mengamati. Ternyata dia menikmati.

Angin berhembus pelan, membisikan padanya keindahan di suatu tempat lain. Tapi dia terlalu malas untuk kembali berjalan. Semakin lama Angin semakin kencang berusaha membujuknya. Dia tidak bergeming. Dia terlalu menikmati ini dan mulai terpejam.

Dalam lamunannya dia membayangkan sebuah kehidupan penuh dengan cinta. Dimana setiap orang saling mencintai dan menerima orang lain apa adanya. Tidak ada kepahitan, kekecewaan, dusta dan kepalsuan. Dia bermimpi tentang cinta yang telah lama dia nanti, yang mampu membuat hatinya terus berdegup kencang dan takjub. Dan membuatnya terperanga, inilah dia cinta itu.

Namun ketika dia sadar dari lamunannya, yang dia dapat hanya angan-angan belaka. Nyatanya dia belum pernah menemukan cinta yang seperti itu. Energinya sudah kembali pulih. Dia beranjak dari kursi dan mulai berjalan kembali mengikuti kata-kata Sang Angin.

Sang Angin tentu saja tahu kegelisahan hatinya. Dialah yang paling tahu segalanya. Bukan karena dia sok tahu, tapi dia memang mengetahui segalanya, bahkan yang tidak pernah terkatakan. Karena manusia kadang tidak bisa mengungkapkan segala hal kepada sesamanya. Akan selalu ada rahasia yang tidak pernah diketahui bahkan oleh sahabatnya sendiri. Lalu mereka memendam hal itu dan bertanya pada Angin, menceritakan kegelisahan hati mereka dan berharap Angin dapat membawa pergi jauh kegelisahan mereka. Oleh karena itu Sang Angin tahu segala hal dan menjadi sahabat manusia sejak berabad-abad tahun yang lalu.

Tentu saja Sang Angin tidak bisa memberikan manusia sebuah jawaban. Tugas Sang Angin hanyalah meyampaikan pesan manusia kepada Jiwa Dunia, Empunya alam semesta. Dan hanya kepada sebagian orang saja Angin berhasil menyampaikan kembali jawaban kepada  manusia itu. Karena Angin tidak pernah berkata-kata, tapi mampu memberikan hembusan harapan dan keyakinan, bahwa masih akan ada hari esok yang lebih baik. Itulah dia, Sang Angin.

Seseorang diujung jalan itu, yang tidak tahu hendak kemana, yang hanya mengikuti petunjuk Sang Angin, mulai mencoba untuk mengerti apa yang disampaikan Jiwa Dunia. Tapi masih amat sangat terasa samar. Dia terus mencoba memahami isi hati Jiwa Dunia. Tapi tak semudah yang dibayangkannya. Dia masih belum mengetahui kunci untuk bisa memahami hati  Jiwa Dunia. Dia mulai frustasi dengan setiap pemikirannya sendiri. Sang Angin tidak pernah mengintimidasinya, dia akan membantu manusia itu untuk mengerti sebuah rahasia tentang cinta dan kebahagiaan. Tapi Sang Angin kesulitan untuk memberikan manusia itu pengertian, karena ia tidak dapat berkata-kata. Ia hanya bisa memimpin dan mengarahkannya ke suatu tempat yang lebih baik. Namun keputusan dan pilihan manusia sendiri itulah yang menentukan takdirnya. Manusia tidak boleh menyalahkan Angin ketika ia gagal menemukan cinta.

Seseorang diujung jalan itu, yang masih terus berusaha memahami isi hati Jiwa Dunia, mulai melepaskan dirinya dan menyatu dengan Angin. Hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Membentangkan kedua tangannya dan membiarkan Angin menepis wajahnya, tubuhnya, jiwanya, kegelisahannya, dan semua kekuatirannya. Dia terus mencoba berkomunikasi dengan Angin dan berharap Angin dapat membawanya ke suatu tempat lain, yang jauh lebih indah. Karena dia telah lelah pada dunianya yang sekarang, dia lelah untuk terus berharap pada sesuatu yang tidak pasti. Ya, sudah begitu lama dia menanti dan berhadapan dengan segala proses siklus kehidupan, tapi dia tidak mendapatkan apa-apa. Atau mungkin sebenarnya dia sudah mendapatkan sesuatu tapi tidak seperti yang diharapkannya. Meskipun begitu dia tetap tegar.

Perlahan dia mulai mengerti bahasa Sang Angin. Dan Sang Angin terus menuntunnya ke tempat lain. Mereka telah menyatu, dua pribadi yang sangat berbeda itu kini telah saling memahami. Sang Angin sangat mengerti hati manusia itu, dan membawa jeritan hatinya pergi. Ia mengisi hati manusia itu dengan kekuatan yang baru, dengan harapan dan masa depan yang baru pula. Sang Angin berpikir tidak pantas manusia itu terus berada dalam  masa lalunya, dia terlalu indah untuk terjebak pada mesin waktunya sendiri. Kini, Sang Angin membebaskan jiwa manusia itu, yang telah menjadi sahabatnya beberapa detik lalu.

Seseorang diujung jalan itu, yang sudah mengerti rahasia hati Jiwa Dunia lewat sahabatnya: Sang Angin, mulai merasakan jiwanya bebas pula. Semua kegelisahan dan kekuatirannya telah hilang. Dia merasakan sebuah kekuatan yang tidak dapat terkatakan, bahwa Jiwa Dunia akan terus bersamanya dan membantunya menemukan cinta. Memang belum semua pikiran dan bayangan akan kenangan masa lalu itu lenyap, tapi manusia itu akan tetap berjalan ke depan, mengikuti hembusan sahabatnya.

Seseorang diujung jalan itu, yang sudah mendapatkan jiwanya yang baru bersama dengan Jiwa Dunia, lewat Sang Angin, berjalan maju dengan anggun. Dia percaya selama matahari masih bersinar, selama itu pula masih akan ada harapan. Dan dia pun telah memiliki hati Jiwa Dunia dan Sang Angin, kedua sahabat baru yang akan terus bersama dia untuk menemukan cinta sejatinya.

No comments:

Post a Comment