Start at the beginning, go to the end, then stop. That’s how I write. I write quickly. I don’t try to show how intelligent or how cultivated I am, I just try to share my soul. Sharing is part of life. - Lewis Carroll

Thursday, August 1, 2013

Kamu lebih besar dari kecoa itu, berani dan hadapilah!



Kecoa, salah satu jenis serangga yang paling dibenci manusia karena rupanya yang 'jelek', bau dan sering mengganggu. Apalagi saat dia tiba-tiba datang dalam kesunyian dengan kepakan sayap coklatnya dan hinggap mengenai anggota tubuh kita. Membayangkannya saja sudah membuatku geli.

Ya, aku pun salah satu dari mereka yang phobia terhadap mahkluk kecil itu. Bagaimana tidak, mereka sering mengunjungiku di malam hari dan terus berterbangan di setiap sudut kamar. Melihatnya muncul saja membuat aku merinding. Saking phobianya, setiap kali aku mendengar bunyi-bunyian kecil atau kepakan sayap serangga, aku langsung bangun dan mempersenjatai diri, dengan apapun. Kadang phobia itu membuatku tidak nyaman dan terus dibayangi ketakutan.

Suatu sore ketika aku hendak merapikan lemari buku di rumah, aku dikejutkan dengan kedatangan si kecoa itu. Entah darimana dia bersembunyi tiba-tiba dia terbang ke arahku. Sontak aku berteriak kencang. Tak lama mama datang dan melihat apa yang terjadi. Rupanya si kecoa itu betah berada di punggungku. Mama berusaha menjatuhkannya, benar saja dia jatuh tapi langsung merayap ke kakiku. Teriakan geli kedua kembali terdengar.

Kali ini mama tidak membantuku, dia malah berkata:

"Hei, kamu lebih besar dari kecoa itu. Kalau kamu terus menerus menghindar dan takut, selamanya dia akan mengganggumu. Berani dan hadapilah!"


Well, benar juga apa yang mama katakan. Memang aku lebih besar dari kecoa itu, lalu apa yang aku takutkan? Bobot tubuhku lebih besar dari si kecoa. Aku pun punya kekuatan penuh untuk membunuhnya dengan kedua tanganku, tapi mengapa aku malah membiarkan si kecoa itu terus menakutiku. Jadi siapa yang bodoh selama ini?

Oke dengan segenap kekuatan aku beranikan diri untuk menatap si kecoa dan memukulnya. Seketika si kecoa terkapar tak berdaya. Dan masalah pun selesai. Sesederhana itu rupanya.

Terkadang kita terjebak dalam sebuah pemikiran yang rumit. Kita membiarkan diri kita terus ditakuti oleh sesuatu yang sebenarnya adalah imajinasi kita saja. Phobia memang tidak diinginkan kehadirannya, tapi tahukah sebenarnya diri kita sendirilah yang menaruh hidup kita ke dalam phobia tersebut.

Pikiran yang membawa kita terkunci dalam kepahitan akan sesuatu yang pernah terjadi; masa lalu. Setiap manusia memiliki masa lalu, dan kebanyakan sesuatu yang menyakitkan.  Tapi membiarkan diri kita hidup dalam phobia masa lalu sangatlah tidak bijaksana. Seperti ketika aku terus membiarkan rasa takut akan kecoa dalam benakku, selamanya aku akan terus takut dan kalah dengan mahkluk kecil itu.

Berdamai dengan pikiran, itu pintu gerbang untuk lepas dari ketakutan akan masa lalu. Selanjutnya berdamai dengan kejadian menyakitkan itu, melepaskan pengampunan - bila diperlukan. Ketiga, berdamai dengan diri sendiri. Tidak ada sesuatu yang tidak ada jalan keluarnya, tidak ada yang tidak bisa diperbaiki.
Terakhir, berani dan hadapilah!

“Manusia terlalu berharga untuk terjebak dalam mesin waktunya sendiri.”
(Mitch Albom dalam The Time Keeper)

No comments:

Post a Comment